SEJARAH
KEMPO
Secara etimologi, Shorinji kempo berasal dari kata Shorinji dan kempo. Shorinji sendiri terdiri dari
kata sho yang berarti hutan, rin artinya bambu,
dan ji yang berarti kuil, ken = aturan.
Sedangkan kata kempo sendiri
bermakna "jalan hidup".
Shorinji kempo berasal daripada
perkataan sho = hutan, rin = bambu, ji =
kuil, ken = aturan. Kalau kempo bermakna
"jalan hidup.”
Shorinji
Kempo sendiri merupakan seni beladiri yang berasal dari jepang yang dibawa oleh
dharma taishi. Beladiri ini lebih mengedepankan untuk bertahan terlebih dahulu
disbanding menyerang. Hal ini sejalan dengan prinsip Shorinji Kempo yaitu, "KASIH
SAYANG TANPA KEKUATAN ADALAH KELEMAHAN, KEKUATAN TANPA KASIH SAYANG ADALAH
KEZALIMAN"
SEJARAH KEMPO.
A.
Kempo dan Budhisme
Pada tahun 550 SM, seorang pendeta Buddha yang ke-28, yaitu Dharma
Taishi, pindah dari tempat tinggalnya di Baramon, India ke daratan China.
Beliau menetap di sebuah kuil yang bernama Siau Liem Sie atau
lebih dikenal dengan nama Shorinji yang terletak di propinsi
Kwa- Nam.
Dalam
perjalanannya dan pengembaraannya, Dharma Taishi menyebarkan ajaran agama
Budha. Tidak sedikit tantangan, ancaman dan hinaan yang dialaminya yang nyaris
menghilangkan nyawanya. Dari pengalaman itulah, muncullah anggapan dalam
dirinya bahwa seorang calon Bikshu sebaiknya juga melatih ketahanan jasmaninya,
disamping membersihkan rohaninya untuk mencapai nirwana setelah bersemedi.
Dalam
ajaran agama Budha, dikatakan bahwa hidup itu berasal dari keadaan "kosong"
atau "tiada". Namun, oleh Dharma Taishi pernyataan tersebut dilengkapinya,
bahwa tidak gunanya menjadi "kosong" atau "tiada" atau
"suci" jika tidak bisa membela sesama manusia yang ditimpa
kemalangan.
Selama
di India, Dharma Taishi pernah belajar ilmu beladiri tradisional india, yaitu
indo Kempo (silat India). Karena banyaknya tantangan yang dihadapi dalam
pengembaraannya di Cina maka ia mempelajari pula berbagai aliran silat China
Kuno. Selama bertapa 9 tahun ia bertekad menyusun ilmu mempertahankan diri dan
dimaksukkan sebagai syarat dan mata pelajaran bagi calon pendeta Budha.
Sejak
itu, ilmu beladiri yang ditemukannya telah menjadi bagian dari pendidikan
keagamaan pada Zen Budhisme. Dharma tetap beranggapan bahwa semua pengikutnya
haruslah berfisik kuat guna melanjutkan usaha menyebarluaskan ajaran agama Budha
ke penjuru dunia yang dirasanya cukup berat.
Dalam
ceritera klasik Cina, sering dijumpai nama Tatmo Cowsu. Nama ini tidak lain adalah
Dharma Taishi sendiri, yang mencipatakan seni beladiri Shorinji Kempo atau
Siauw Liem Sie Kung Fu.
Seni Beladiri
ini secara khusus dilatih kepada para calon Bikshu didikannya, dan diajarkan
secara rahasia di dalam kuil Shorinji. Selain anggota tidak boleh melihat atau
masuk ke dalam kuil. Namun keampuhan seni Bela Diri ciptaanya itu dengan cepat
pula menjadi buah bibir masyarakat sekitarnya, bahkan menjalar secara luas di
daratan tiongkok, china.
B.
Falsafah Kempo.
Karena seni
bela diri kempo waktu itu menjadi bagian dari latihan bagi para calon Bikshu,
dengan sendirinya ilmu itu harus mempunyai dasar falsafah yang kuat. Dengan
dilandasi agama Budha, yaitu dilarang membunuh dan menyakiti, maka semua KENSHI
(pemain Kempo) dilarang untuk menyerang terlebih dahulu sebelum diserang. Hal
ini menjadi doktrin Kempo, bahwa "perangilah
dirimu sendiri seblum memerangi orang lain".
Cukup lama
sejak meletusnya Perang Boxer, nama Shorinji Kempo menghilang. Bahkan di
Tiongkok sendiri, ketika kaum KUN CHAN TANG (Partai Komunis Tiongkok) muncul,
Kempo megalami kemunduran (set back). Gerak atau teknik Kempo yang
diperbolehkan muncul pada waktu itu hanyalah yang menyerupai senam belaka
yaitu, TAI KYO KUEN.
Doktrin
tersebut mempengaruhi pula susunan beladiri kempo, sehingga gerakan teknik
selalu dimulai dengan mengelak/menangkis serangan dahulu, baru kemudian
membalas. Selanjutnya disesuaikan menurut kebutuhan yakni menurut keadaan
serangan lawan. Dharma selalu mengajarkan bahwa disamping dilarang menyerang
juga tidak selalu setiap serangan dibalas dengan kekerasan.
Sehingga
dalam ilmu Kempo itu lahirlah bentuk mengelak saja. Cukup menekukkan
bagian-bagian badan lawan, kemudian mengunci dan bila terpaksa barulah
dilakukan penghancuran titik-titik lemah lawan, berupa tendangan, sikutan,
pukulan, dan sebagainya. Bentuk yang pertama dikenal sebagai JUHO (lunak) dan yang berikutnya sebagai
GOHO (keras).
Setiap
kenshi diharuskan menguasai teknik GOHO
(keras) dan JUHO (lunak), artinya
tidak dibenarkan apabila hanya mementingkan pukulan dan tendangan saja dengan
melupakan bantingan dan lipatan-lipatan.
C.
Perang Boxer.
Shorinji
kempo sendiri mengalami perkembangan pesat di daratan Cina. Pengikutnya semakin
banyak dan pengaruhnya semakin besar dalam masyarakat Cina. Di tahun 1900 -
1901, di Cina meletus perlawanan rakyat menentang masuknya Kolonialisme Barat. Dan
banyak pengikut Shorinji Kempo melibatkan diri dalam perlawanan tersebut.
Pemberontakan di awal abad ke 20 itu akhirnya menjadi gerakan nasional yang
disokong Ratu TZE-SJI, yang juga ingin membersihkan tanah airnya dari
penjajahan Barat.
Kolonalisme
Barat akhirnya dapat mematahkan perlawanan rakyat Cina dengan menggunakan
peralatan perang mutakhir. Sementara rakyat Cina kebanyakan hanya melawan
dengan mengandalkan tangan dan kaki saja. perang yang menelan jutaan korban itu
terkenal dengan sebutan "PERANG BOXER". Penjajah mengejar dan
membunuh pengikut Dharma Taishi, organisasinya dilarang, kuil-kuil Shorinji
Kempo dirusak, dibakar dan dihancurkan.
Begitu pun,
masih banyak pula pengikut Shorinji Kempo dan Bikshu-bikshu yang sempat
meloloskan diri dari kerajaan pasukan penjajah. Kebanyakan dari mereka yang
meloloskan diri tersebut masih berusia muda, dan belum menguasai seni Bela Diri
yang di wariskan Darma Taishi tersebut.
Bikshu-bikshu
yang sempat meloloskan diri ke arah timur dan selatan, lalu mengajarkan aliran
Shorinji Kempo kepada pedagang-pedagang dari Okinawan, Taiwan dan Muangthai.
Karena tidak
teroganisasinya kesatuan, maka penyebaran Shorinji Kempo mulai membentuk seni
bela diri baru. Mereka yang melarikan diri ke Muangthai hanya menguasai teknik GOHO (memukul, menendang dan menangkis)
dan mempengaruhi perkembangan bela diri yang ada di negeri tersebut, lalu
Muncullah beladiri yang disebut THAI BOXING. Ajaran Shorinji Kempo, terutama
teknik GOHO, juga mempengaruhi seni
bela diri yang ada di Okinawa, Jepang. Maka di Okinawa timbullah seni bela diri
yang dinamakan OKINANAWATE yang kemudian dikenal dengan nama KARATE.
Mereka yang
melarikan diri ke pulau-pulau Jepang lainnya dan menguasai teknik JUHO (lunak) juga mempengaruhi seni bela
diri yang ada di daerah-daerah tersebut. Kemudian muncullah seni bela diri
JU-JIT-SU, Ju berarti halus-lenting dan fleksibel. Disamping itu lahir pula
seni bela diri AIKIDO dan JUDO. Setelah menghilang beberapa waktu lamanya,
kempo mulai bangkit kembali setelah perang dunia II, aliran-aliran seni bela
diri lainnya tetap bersumber dari Shorinji Kempo sebagai aliran seni beladiri
yang tertua.
D.
Perkembangan Kempo Pasca Perang Dunia II.
Seorang
pemuda Jepang bernama SO DOSHIN dikirim ke Cina dalam pasukan ekspedisi tentara
Jepang ke Manchuria pada tahun 1928. Tetapi karena ia tidak sepaham dengan
cara-cara penjajahan yang dilakukan Jepang, ia kemudian melarikan diri dari
induk pasukannya dan mengembara di daratan Cina. Dalam pengembaraannya, ia
bertemu dengan pendeta Budha dan akhirnya ia dibawa ke kuil Siaw Liem Sie, yang
sudah diperbaiki oleh penerus-penerus Dharma Taishi.
Di kuil ini,
Sho Dosin mempelajari ilmu Shorinji Kempo langsung dibawah asuhan Mahaguru
ke-20 yaitu WEN TAY SUN. Karena kesetiaannya dan penguasaannya yang sempurna
terhadap Shorinji Kempo, maka So DosHin diberi penghargaan tertinggi menjadi
Maha Guru ke - 21 dan ia memperoleh ijin untuk meninggalkan kuil Shorinji untuk
meneruskan ajarannya di daratan Jepang (Tanah Airnya).
Tahun 1945,
Sho Dosin kembali ke Jepang dan membuka DOJO (tempat latihan) tersendiri. Ia
memilih kota TADOTSU, yang terletak di propinsi KAGAWA di pulau SHIKOKU, yang
kemudian terkenal sebagai pusat Shorinji Kempo. Dalam waktu yang relatif
singkat seni bela diri ini menyebar luas, bukan saja di Jepang tetapi diseluruh
dunia.
Lambang
organisasi Shorinji Kempo menggunakan lambang agama Budha, yaitu “Manji”, semacam tanda swastika yang
berputar ke kiri, yang berarti "kasih sayang dan kekuatan" yang
sesuai dengan doktrin Shorinji. Dalam tindakan sehari-hari sering diartikan
sebagai berikut : "Dimana ada kekuatan harus ada kebijaksanaan dan
kebijaksanaan harus disertai kekuatan"
E.
Perkembangan Shorinji Kempo di Indonesia
Konsekuensi
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Jepang pasca kekalahannya pada perang
Dunia II kepada Indonesia adalah Pampasan perang. Salah satu cara atau bentuk
pembayaran pampasan itu, adalah sejak akhir 1959 Pemerintah Jepang menerima
mahasiswa Indonesia dan juga pemudanya belajar di Negeri tersebut.
Maka, sejak
itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai Tahun 1965, Ratusan
Mahasiswa dan pemuda Indonesia mendapat kesempatan untuk belajar di Jepang.
Dari Jumlah tersebut, tidak sedikit pula dari mereka yang memanfaatkan
waktu-waktu senggang dan liburnya untuk belajar dan memperdalam seni Bela Diri
yang ada di Jepang. Dari mereka ini pula, akhirnya sekembalinya ke tanah air
tidak saja menggondol ijazah menurut bidang study yang telah mereka pelajari,
tapi juga memperoleh tambahan berupa penguasaan atas seni bela diri yang ada di
Jepang, seperti : Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga Kempo.
Pada
tahun 1962, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukkan Mahasiswa Indonesia
menyambut kunjungan Tamu-tamu penting dari tanah airnya, seorang Pemuda
Indonesia bernama UTIN SYAHRAZ mendemonstrasikan kebolehannya bermain Kempo.
Utin Syahraz tiba di Tokyo sekitar tahun 1960 sebagai Trainee pampasan.
Sebelumnya ia adalah pegawai pada Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta. Apa
yang di demonstrasikannya itu, akhirnya menarik minat pemuda dan mahasiswa
Indonesia lainnya, mereka antara lain INDRA KARTASASMITA dan GINANDJAR
KARTASASMITA serta beberapa lainnya yang datang kemudian ke Jepang. Dalam
waktu-waktu luang dan libur, mereka memanfaatkan waktunya untuk datang langsung
ke pusat Shorinji Kempo di Kota Tadotsu untuk menimba langsung seni beladiri
tersebut dari Sihangnya.
Pemuda-pemuda
tersebut sadar, tidak ada lagi kebanggaan mereka, selain memberikan apa yang
terbaik yang mereka terima selama di Jepang kepada Pemuda-pemuda bangsanya
sendiri sekembalinya ke Tanah Air. Hal tersebut tidak lain, untuk kejayaan
bangsa dan Negara mereka, agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain,
tidak saja dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam olah raga.
Untuk
meneruskan warisan seni bela diri Shorinji Kempo, seperti apa yang mereka
peroleh di Jepang kepada rekan-rekan senegaranya, ketiga pemuda, yakni UTIN
SYAHRAZ (Kini Almarhum), INDRA KARTASASMITA dan GINANDJAR KARTASASMITA bertekat
melahirkan dan membentuk suatu wadah yang bernama PERKEMI (Persaudaraan
Beladiri KEMPO Indonesia). Wadah ini secara resmi dibentuk pada tanggal 2
Februari 1966.
Dari
hanya beberapa murid dan hanya berlatih di teras rumah waktu itu, kini PERKEMI
telah melahirkan ribuan Kenshi-kenshi yang tersebar di seluruh Tanah Air.
Selain merupakan salah satu anggota Top Organisasi yang bernaung dalam wadah
KONI (Komite Olah Raga Nasional Indonesia), Perkemi juga menjadi anggota penuh
dari federasi se-Dunia atau WSKO (World Shorinji Kempo Organization) yang
berpusat di kuil Shorinji Kempo,di kota Tadotsu, Jepang. Sedangkan dua dari
tiga perintis/pendiri PERKEMI, yakni Ir. Drs. Ginandjar Kartasasmita (kini
Menteri Pertambangan dan energi RI) dan Indra Kartasasmita (Kini direktur
Perkapalan dan Telekomunikasi Pertamina tetap aktif, baik dalam kepengurusan
PERKEMI maupun pembinaan dari para Kenshi muda lainnya.